Makkah Jahiliyah dan Problem Demografinya

sumber gambar : https//darus.id

Makkah Jahiliyah dan Problem Demografinya

Karena masifnya hiruk pikuk manusia keluar masuk Makkah, terutama di musim haji, maka terciptalah pasar-pasar padat di penjuru Makkah. Pasar-pasar ini menjadi jujugan pelancong, jamaah haji dan para pedagang lintas bangsa. Sebagai contoh, pasar Ukazh (dekat Thaif), Majinnah (dekat Makkah) dan Dzil-Majaz (padang Arafah). Tiga pasar ini menjadi objek vital bagi miskin tidaknya Makkah. Pasar ini befungsi sebagai semacam pusat pertukaran barang saja, mengingat tidak ada produksi apapun di Makkah. Jika pun ada produksi, itu pun skala rumahan. Hanya memenuhi kebutuhan masing-masing keluarga. Tampaknya urusan kriya dan manufaktur menjadi kelemahan besar orang-orang Makkah. Segala produk yang dijual di pasar-pasar Makkah hampir 90% komoditas luar. Privilese Makkah hanya satu hal, adanya Ka’bah.

Istilah Jahiliyah (berakar dari kata jahil. Berarti jahil, bodoh, rendah) muncul dari satu lanskap sosial politik sangat buruk yang pada akhirnya meledak setelah terakumulasi ratusan tahun sejak Ismail Alaihis-Salam pertama kali menghuni Makkah. Di jaman jahiliyah ini tata kelola teknis terkait Ka’bah berjalan lancar. Bahkan terbilang kaya. Akan tetapi, banyak penyimpangan terjadi dan terlalu jauh. Jika Ka’bah dibangun pertama kali sebagai titik nol penyembahan tuhan yang maha tunggal, berangsur-angsur ia menjadi satu arena ritual yang politeistik (banyak tuhan) dengan aturan yang terlampau konyol. Ambil contoh, aturan semasa Ka’bah dalam pengelolaan Amr bin Luhay. Ka’bah adalah area steril yang disucikan. Jamaah dari luar Makkah diwajibkan menggunakan baju sesuai identitas kesukuan masing-masing. Jika satu suku tidak memiliki identitas mode tertentu maka bagi laki-laki diwajibkan thawaf (mengelilingi Ka’bah) dalam kondisi telanjang. Bagi perempuan, diperbolehkan menggunakan baju longgar terbuka. Disaat itu, aturan baju ihram belum diadakan.

Amr bin Luhay pula yang mengimpor banyak berhala dari Syam dan negeri tetangga. Di era yang sama, penduduk Syam banyak menyembah berhala-berhala. Mungkin agama Majusi sedang tumbuh pesat. Amr bin Luhay sebetulnya seorang imam yang saleh. Atas satu asumsi tak matang, (Amr menganggap Syam sebagai tanah para nabi. Apa yang penduduknya sembah, ia mengikutinya) Amr mengimpor berhala-berhala Syam dalam kuantitas tak tanggung-tanggung. Kurang lebih 360 berhala. Berserak di sekitar Ka’bah. Tiga berhala paling terkenal adalah Lata (Thai’if), Manat (tepi Laut Merah), dan Uzza (Wadi Nakhlah). Dalam kisah ini, secara visual mungkin Makkah serupa Yunani kuno dengan patung-patung mitologinya. Tiga ratus enam puluh patung!

Makkah dan Masalah Utama Demografi

Jika membuat satu kajian statistik atas porsi munculnya hukum-hukum positif dalam Al-Qur’an. Akan dengan mudah kita dapatkan di bab-bab awalnya, pembahasan tentang hukum pernikahan berikut aturan-aturan perceraian. Porsi nomor dua, aturan jual beli. Selanjutnya pemberesan praktek politeisme. Hukum tentang pernikahan terkesan dibahas begitu detail dalam Al-Qur’an. Dulu saya sempat bertanya-tanya. Mengapa urusan kawin dan cerai ditegaskan, dibahas dan “digalak-galakkan” di bab awal risalah Nabi. Disini, sedikit banyak jawaban mulai tersingkap. Saya hanya membatasi contoh pada sisi pernikahan. Karena dari pernikahan ini, demografi masyarakat Makkah jelas terpengaruh secara signifikan.

Orang-orang Quraisy Makkah mempraktekkan poligami dan poliandri. Poligami yang terjadi menurun dari kebiasaan generatif para moyang. Seorang laki-laki beristri sepuluh normal-normal saja di abad itu. Tidak ada aturan khusus terkait itu. Seseorang bahkan bisa memiliki satu, dua atau tiga istri di satu wilayah. Jika seseorang sering bepergian dalam misi dagang, dan ia melewati tujuh kota misalkan, ia bisa mengawini perempuan di sepanjang rute dalam waktu bersamaan. Jika satu saja tiap perhentian, maka tujuh istri ia kawini. Jika ia menetap lumayan lama, bisa dua atau tiga. Jika itu dilakukan rutin tiap tahun, maka istri-istri itu akan berlipat ganda menjadi lusinan hingga puluhan. Dalam kondisi dagang yang bersandar pada ekspedisi lintas teritorial, jelas menimbulkan dua masalah besar bagi para istri. Ketidak jelasan nafkah dan komunikasi.

Bisa saja seorang istri hanya sekali berjumpa suaminya dalam satu atau dua tahun siklus dagang. Anak-anak terlantar berlipat ganda secara masal di kota-kota singgahan. Istri-istri tanpa komunikasi yang jelas dengan suaminya lantas kebingungan. Mengira suaminya tak lagi datang, atau mati di rute dagang terpatuk ular atau habis logistik di tengah gurun. Maka muncul akibat kedua, poliandri. Ketidakjelasan status pernikahan seperti ini ditentang Islam habis-habisan. Sumber kerunyaman budaya poliandri akhirnya tercipta dalam kondisi seperti ini. Istri menikah lagi dalam kondisi ketidaktahuan status nikahnya. Maka otomatis mereka menikah dengan lebih dari satu suami. Makin runyam bagi suami-istri, lebih runyam lagi bagi para anak. Semrawut secara nasab (silsilah). Semrawut secara kesejahteraan pangan di tengah gurun tandus dengan sedikit cadangan air tanah.

Makkah menjadi pusat keanehan pada urusan pernikahan. Ada empat jenis hubungan rumah tangga bagi orang-orang Quraisy.

1.      Pernikahan secara spontan.

Seseorang bisa jatuh cinta pada pandangan pertama. Kita mahfum. Itu juga terjadi di masa lalu. Dalam tradisi Quraisy. Seorang pemuda bisa jatuh cinta pada seorang gadis penjual kurma di pasar Ukaz. Ia dibolehkan untuk melamar dan mengucap akad saat itu juga. Seorang saksi dipanggil. Wali dari si gadis datang, dan seketika mereka menikah. Untungnya, persetujuan wali masih wajib ditempuh. Tidak dengan persetujuan si gadis. Dalam artian jika wali setuju, maka pernikahan sah walaupun si gadis merengek dalam tangis yang mengiba.

2.      Pernikahan Istibdha
Suami menitipkan urusan seksual istri kepada laki-laki lain. Kondisi seperti ini terjadi dikarenakan suami ingin mendapatkan keturunan yang sehat dan cerdas. Dugaan saya, ini terjadi karena urusan dagang yang sebelumnya saya tulis. Suami yang jarang pulang dengan kelemahan fisik dan intelejensia mengharapkan istrinya mengandung putra terbaik.

3.      Poliandri
Seorang perempuan bersuami sepuluh. Ia berkumpul dengan para suami. Jika ia mengandung, ia memilih salah satu suami sebagai ayah dari anaknya secara acak. Condong pada urusan suka-tak suka pada suami. Seorang ayah menjadi ayah bukan karena gen. Suatu pagi di meja kopi, seseorang bisa terlonjak kaget karena harus menjadi ayah dari anak yang bukan hasil pijahnya. Jika istrinya sudah berkata “ia anakmu”, maka tak ada hak banding bagi si pria.

4.      Pernikahan Undi

Serupa nomor tiga dengan perbedaan yang lain. Seorang perempuan belum menikah tidur dengan banyak pemuda. Dalam adat Quraisy, normal jika seorang perempuan belum menikah memasang bendera putih di sudut rumahnya. Bendera ini berarti ia membolehkan satu atau lebih pemuda untuk masuk menginap. Jika ia mengandung, ia meminta semua pria berkumpul dan menunjuk seseorang sebagai ayah dari bayinya. Hak banding bagi pria tidak tersedia. Otomatis pula dilangsungkan pernikahan yang sah secara adat. Tanpa mengungkit bendera putih dan apa yang terjadi sebelumnya. Perlu diingat kembali. Makkah dilalui jutaan laki-laki tiap tahunnya. Baik berhaji maupun misi dagang. Maka, percampuran DNA bisa dipastikan tak terkendali dalam kondisi ini. Tanpa ada seleksi kesehatan reproduksi yang mumpuni. Angka penyakit seksual jelas tinggi. Termasuk cacat rhesus.

Dengan keanehan tradisi pernikahan di Makkah, pada akhirnya membawa satu kerentanan sosial yang menakutkan. Tahun demi tahun. Dekade demi dekade. Dengan rendahnya kontrol adat terhadap angka kelahiran bayi, Makkah menjadi satu ladang pertarungan yang sesak antara manusia dan stok pangannya. Kabilah-kabilah selalu berpindah sesuai musim merantau. Umumnya tiga sampai enam bulan. Lantas kembali pulang untuk menggantungkan pemasukan selanjutnya dari kabilah-kabilah haji yang berbondong datang di musim haji. Ketidakajegan cara hidup ini, pada akhirnya menimbulkan problem gizi bagi bayi-bayi Makkah.

Di masa-masa ini pula, pembunuhan besar-besaran terhadap bayi-bayi Makkah terjadi. Pembunuhan ini terhitung massif. Dilakukan oleh para orang tua sendiri. Secara jelas dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa orang-orang Makkah menghindari aib beranak perempuan dan takut miskin jika beranak laki-laki. Alasan ini perlu diselidiki lebih jauh.

Jika dicocokkan dengan kisah Halimah As Sa’diyah dari Bani Bakr, ada kemungkinan kota Makkah mengalami kekurangan pangan yang parah disaat pembunuhan massal bayi-bayi itu terjadi. Satu penyakit merebak di tengah penduduk. Angin berhembus panas dengan iklim terendah sepanjang tahun. Pasar macet, perekonomian tidak berkembang dengan baik. Kondisi ini tidak memungkinkan bagi Siti Aminah untuk merawat dan menyusui bayi Muhammad. Maka dititipkanlah Muhammad pada Halimah di luar Makkah. Kabilah Halimah berada di gurun yang cukup jauh dari Makkah.

Orang-orang Makkah yang masih berakhlak memiliki tradisi “menyelamatkan” bayi-bayi mereka ke luar Makkah. Bani Bakr menjadi satu kabilah terhormat dalam mengurus bayi-bayi. Orang Makkah percaya bahwa pengasuhan Bani Bakr, bentang alam, udara dan lingkungan yang bersih akan menguatkan kualitas hidup si bayi. Oh ya, di Bani Bakr pula Bahasa Arab induk dipraktekkan. Berbeda dengan Makkah yang lebih cenderung berbahasa Arab pasar. Anak-anak Makkah jamak mendapat Pendidikan bahasa Arab dari Bani Bakr.

Lantas turunlah risalah yang cukup merubah peta permainan. Poligami diperketat. Dibatasi menjadi maksimal empat. Itupun dengan tekanan pada porsi adilnya suami membagi nafkah dan waktunya untuk istri. Dalam konteks kesejarahan, poligami dalam Islam bermaksud membatasi. Bukan menambah jumlah istri.

Termasuk pula hukum dan tata cara menikah dan bercerai. Saya ambil satu contoh, Istri mendapat satu hak baru dalam tata kelola pernikahan. Hak ini bernama khulu’. Hak menceraikan suami. Sebelumnya, ini tak pernah terjadi dalam sejarah. Khulu’ boleh dilakukan jika memenuhi satu atau beberapa aspek. Salah satunya jika suami tak memberi nafkah selama empat puluh hari. Aspek ini jelas menjadi satu gebrakan besar di tengah kehidupan masyarakat yang bersandar pada pola hidup yang nomaden. Suami menjadi wajib hukumnya untuk secara rutin terus menafkahi dan mengunjungi istri-istrinya (bila ia berpoligami) dalam tempo per 40 hari. Secara otomatis syarat ini makin mereduksi  kecenderungan pria-pria muslim untuk menikahi lebih dari satu perempuan dalam waktu yang bersamaan. Maka risalah yang membolehkan menikahi empat perempuan sekaligus sebetulnya jadi semacam jebakan. Ia bersifat “boleh” secara teori, tapi “mustahil” secara praksis.

Bersambung

Sumber bacaan :

“Sirah Nabawiyah”. Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury. 1972

Https//darus.id